Selamat Datang di Hikayat Atah Roy. Senyum Adalah Keikhlasan yang Tak Terucap

Sabtu, 15 Oktober 2011

Kitalah Pemenangnya


Menurut Leo Tolstoy “semua orang berpikir untuk mengubah dunia, tetapi tak seorang pun yang berpikir untuk mengubah dirinya”.

Lama Atah Roy termenung menghayati kata-kata penulis Rusia itu. Kalimat itu seperti pisau sekaligus tombak menembus jantung Atah Roy. Atah Roy disadarkan bahwa segala peristiwa yang terbentang selama ini adalah buah pikiran manusia itu sendiri. Memang benarlah apa yang dikatakan oleh orang tua-tua dahulu bahwa semut di seberang lautan, nampak, gajah di pelupuk mata tak nampak. Mungkin saja, pikir Atah Roy, dia terlalu banyak menuntut pada orang lain, sehingga beban hidupnya berkurang. Padahal setelah Atah Roy membaca berulang-ulang kalimat Leo Tolstoy itu, Atah Roy sadar mulailah dari diri kita untuk membangun peradaban yang berdelau.

Dari kalimat Leo Tolstoy ini juga, pikiran Atah Roy singgah ke pemikiran Albert Camus, seorang penulis Perancis berdarah Al Jazair, yang berpegang kokoh bahwa dalam diri manusia itu memiliki kekuatan. Diri manusia itulah wajah peristiwa di dunia ini. Buruk atau baik, menyenangkan atau tak menyenangkan realitas ini semuanya dari unduhan keinginan manusia. Memang seharusnya, pikir Atah Roy lagi, kita tak boleh berharap banyak kepada orang lain, berharap saja pada diri sendiri. Jadikan diri itu seperti angin topan yang kehadirannya membekas.

Atah Roy berpikir, bahwa dalam diri manusia itu sama; kebaikan selalu dominan, namun karena sesuatu hal, kebaikan terkikis dan terkalahkan oleh hal-hal yang buruk. Hal ini menurut Atah Roy, disebabkan manusia selalu ingin tampil lebih dari manusia lainnya. Terjadilah penyimpangan hati nurani. Perjalanan yang sudah tersesat dari jalan yang bernama hati nurani ini, menciptakan keasikan bagi manuisa. Atah Roy teringat lirik lagu Rhoma Irama “kenapa e kenapa yang asik-asik itu dilarang, karena e karena bisa merusak iman.”

Untuk mengatasi hal ini, mulai saat ini Atah Roy berazam akan tampil dengan berdasarkan hati nurani; yaitu berbuat baik terhadap Leman lengkung. Atah Roy tahu bahwa hati nurani tidak akan pernah berkeinginan menjahanamkan orang lain. Hati nurani adalah mata air yang selalu mengalirkan air yang jernih, lingkungan atau wadah yang menampung itulah yang menciptakan air itu menjadi keruh.

“Rupanya kita semua ini adalah pemenang, sehingga kita di lahirkan di atas bumi ini,” ujar Atah Roy dalam hati.

Atah Roy pun membayangkan Alexander Agung melakukan penaklukan dari Yunani sampai ke negeri India, tersebab Alexandar menyadari bahwa dalam dirinya ada ‘obor kemenangan’ yang tak pernah padam. Untuk memelihara ‘obar kemenangan’ itu, Alexander pun mengibarkan dirinya sebagai putra Zeus yang memiliki kekuatan atas diri manusia. Atah Roy juga terpikir bahwa Sang Sapurba, yang diyakini sebagai nenek moyang bangsa Melayu dalam buku Sejarah Melayu, melakukan hal yang sama dengan Alexander Agung. Sang Sapurba berkeyakinan bahwa dirinya merupakan titisan yang suci dan harus menyebarkan kesuciannya di kawasan nusantara ini.

Maka pada hari ini, Atah Roy harus melakukan hal yang sama seperti Alexander dan Sang Sapurba. Tapi Atah Roy tak seyakin kedua tokoh tersebut. Atah Roy masih ragu pada dirinya. Hal ini disebabkan, Atah Roy selalu berharap pada orang lain, terutama Leman Lengkung untuk melakukan perubahan di keluarganya. Atah Roy terlalu pengecut untuk mengikrarkan dirinya sebagai pemanan. Padahal selama ini, pemikiran Atah Roy sangat cermerlang untuk mengubah kehidupan mereka, tapi sayang pemikiran itu hanya bermain di benaknnya saja. Atah Roy tak berani menumpahkan menjadi tindakan.

Atah Roy sadar bahwa pemikiran yang cemerlang tidak akan berbuah apa-apa kalau hanya dibenam di tengkorak kepala. Pemikiran itu harus dimuntahkan menjadi tindakan, karena tindakan merupakan eksistensi manusia yang nyata. Dengan tindakan inilah, manusia akan dikenang. Tapi Atah Roy tak percaya diri alias tak PD. Ketidakpercayaan diri Atah Roy ini disebabkan katakutan melakukan kesalahan. “Sepatotnya keselahan terbesar adalah tidak beraninye kita menyapaikan kebenaran itu,” desis Atah Roy.

Leman Lengkung pulang. Ia berjalan dengan wajah yang kusut dan langkah kakinya tidak semangat. Tampak di wajah Leman Lengkung menanggung sesuatu yang memuakkan. Atah Roy melihat Leman Lengkung dengan seksama, namun belum berani bertanya kepada Leman Lengkung. Atah Roy membiarkan saja apa yang dilakukan Leman Lengkung.

Leman Lengkung duduk di samping Atah Roy sambil menggaru kepalnya yang tak gatal. Kemudian Leman Lengkung menarik nafas panjang dan melepaskan dengan suara berat. Atah Roy gelisah, dalam hatinya seperti ada yang menusuk-nusuk, pedih. Atah Roy tak tahan lagi lalu bertanya.

“Ade ape, Man?”

“Tak can de Tah. Negeri ini tak dipandang orang,” Leman Lengkung menjawab lemah.

“Maksudnye?” Atah Roy belum menangkap makna kalimat Leman Lengkung.

“Ape yang tak diberi negeri ini, Tah? Kekayaan alam, sampai kering lelat, budaya juge dah diserahkan, tapi kite tetap saje macam ini. Jangankan rakyatnye sejahtera, jadi menteri di republik ini aje payah. Kite jadi orang kalah terus, Tah,” Leman Lengkung memuntahkan kekesalannya.

“Ooo… berbuatlah berdasarkan hati nurani. Tampakan wuhjud kite terlebih dahulu. Kompak kite, jangan kite terpecah belah lagi. Pade diri kite, pasti ade kekuatan, kekuatan inilah yang kite kumpul jadi kekuatan super memperlihatkan kite ade,” Atah Roy seperti terbang ke angkasa. Ia bebas.

“Dah terlambat, Tah. Dah tumpou lebou negeri ini,” Leman Lengkung pesimis.

“Tak ade kate terlambat, Man. Kitelah yang bisa mengubah nasib kite, bukan orang lain,” kate Atah Roy yakin.

“Auk, kate Atah. Jangankan untuk orang lain, Atah saje sampai sekarang tak bebini karene takut,” Leman Lengkung ketawa.

“Celake budak ni, awak pulak dicemeehnye. Sekali aku terajang, bau tahu!” kate Atah Rot sambil berdiri. Leman pun berdiri dan langsung pergi.

“Awak pulak dicabarnye!” geram Atah Roy.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar