Selamat Datang di Hikayat Atah Roy. Senyum Adalah Keikhlasan yang Tak Terucap

Jumat, 21 Oktober 2011

Penyair

Jam menunjukkan angka 4 petang, Atah Roy duduk di pintu depan rumahnya. Atah Roy dengan seksama melihat sekelilingya. Batang getah, suara burung murai, desiran angin di daun-daun, duan berwarna kuning berguguran, sesekali lewat warga kampung sambil menyapa Atah Roy. Semuanya hal biasa bagi Atah Roy; gambaran serupa inilah tiap kali Atah Roy duduk di depan rumahnya. Kehidupan adalah waktu yang terus bergerak. Tak ada hal yang luar biasa, kecuali agaknya, pikir Atah Roy, pipa minyak milik perusahaan penyedot minyak bumi di belakang rumahnya meledak.

Atah Roy bertanya dalam hati, memang perlukah kejutan-kejutan untuk mengenal diri lebih dekat lagi? Namun, Atah Roy coba menguraikan pertanyaan itu dengan jawaban sementara, kejutan-kejutan yang diciptakan oleh diri, akan menjadi jalan gelap. Dan apabila kegelapan telah mendominasi tarikan nafas manusia, maka semuanya terjerumus ke jurang kehidupan.

Susah juga menjalankan hidup ini dengan kreasi baru untuk mencapai ma’rifat hidup ini, pikir Atah Roy. Tapi tak mungkin pula mengikuti yang sudah ada; jadi pengikut sampai mati, tanpa ada sentuhan pikiran kita? Dimana pula kenikmatan hidup ini? Pikiran Atah Roy semakin berkelana jauh meninggalkan rumahnya. Tiba-tiba pikiran Atah Roy mendadak balek ke rumahnya, ketika hp buruknya mengeluarkan bunyi. Atah Roy cepat-cepat menyeluk kocik celananya. Sms dari Leman Lengkung rupanya.

Inilah gerangan suatu madah

Mengarangkan syair terlalu indah

Membetuli jalan tempat berpindah

Di sanalah i’tigad diperbaiki sudah.

Atah Roy tak mengerti, mengapa Leman Lengkung mengirim sms seperti syair. Padahal selama ini Leman Lengkung paling tidak suka dengan bahasa kiasan; bahasa yang digunakan dalam susastra. Bagi Leman Lengkung hidup ini to do point, langsung pada permasalahan. Tak suka, katakan tidak suka, kalau perlu rasa tidak suka itu dilakukan dengan aksi.

Ape pasal engkau kirim aku syair, Man? Atah Roy membalas sms Leman Lengkung. Bebrepa saat kemudian, Leman membalas sms Atah Roy.

Hidup itu rupanya indah, Tah. Pada setiap waktu yang kite lewati, ade peristiwa yang bisa kite jadikan enegri untuk menambah kekuatan kita mengarungi hidup ini. Dan penulis syair atau penyair merekam waktu yang berlalu, menjadi tempat kite bertamasa untuk mengenal diri yang sempat kita lupekan dengan berjalannye waktu.

Lama Atah Roy membaca balasan sms Leman Lengkung ini. Atah Roy tak habis pikir, Leman Lengkung mampu merangkai kata menjadi kalimat yang arif, kalimat mendedahkan kesalahan dirinya, yang selama ini Leman Lengkung menganggap puisi atau syair tidak relevan dengan keadaan hari ini. “Hari ini orang tidak butuh ‘cermin’ diri, Tah, yang dibutuhkan orang kenen adalah duit dan duit,” ujar Leman Lengkung setahun yang lalu, dan kini bermain di benak Atah Roy.

Kenapa dikau berubah menilai puisi, Man? Atah Roy mengirim sms balasan ke Leman Lengkung. Seperti sudah dipersiapkan jawabannye oleh Leman Lengkung, hp Atah Roy berdering kembali.

“di lereng lereng

para peminum

mendaki gunung mabuk

kadang mereka terpelet

jatuh

dan mendaki lagi

memetik bulan

di puncak

mereka oleng

tapi mereka bilang

-kami takkan karam

Dalam laut bulan-

Mereka nyanyi nyanyi

Jatuh

dan mendaki lagi

di puncak gunung mabuk

mereka berhasil memetik bulan

mereka menyimpan bulan

dan bulan menyimpan mereka

di puncak

semuanya diam dan tersimpan”

Ini puisi Sutardji Calzoum Bachri, Tah, judul puisinye “Para Peminum” Dari puisi ini saye mendapatkan bahwa tidak ada yang sia-sia, semuanya harus kita lakukan untuk mendapat yang kita inginkan. Puisi ini mendedahkan semangat yang harus dimiliki setiap manusia, agar tak menyerah pada apapun keadaan. Hidup ini senantiasa mendedahkan proses agar kita sampai kepada tujuan, tujaun itu adalah puncak, dan untuk menyampai puncak, kita harus terus mendaki, memanjat. Kata-kata dalam puisi adalah recupan semangat, Tah. Ambillah recupan semangat itu dari puisi, Tah.

Atah Roy menggelengkan kepalanya. “Awak pulak nak diajarnye, padahal dah lame aku bace puisi,” ujar Atah Roy dalam hati.

Di zaman modern ini, bagi Atah Roy, menjadi penyair, bukanlah hal yang mudah, dan bukan pula hal yang susah. Susahnya jadi penyair adalah ketika ingin menghasilkan puisi yang berkualitas tinggi, perlu waktu lama, pengalaman dan perenungan dengan dihargai tidak seberapa. Pastilah hal ini tidak dapat dijadikan jaminan untuk menghidupkan keluarga, maka banyaklah orang mengurung niatnya mau jadi penyair. Mudahnya jadi penyair, buat puisi yang tak perlu perenungan dan asal-asalan, asalkan punya link dengan penguasa, maka karya itu pun dihargai. Maka Atah Roy pun memilih tidak jadi penyair.

“Mudah-mudahan acara Korean-ASEAN Poets Literature Festival (KAPLF) di Riau, 25-29 Oktober 2011, bukan menjadi ajang mengenal Riau saja ke manca negara, tapi jauh dari itu, menjadikan kegiatan spirit untuk membangun Riau berdasarkan hati nurani. Tahniah,” ujar Atah Roy, penuh harap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar