Kedatangan
Presiden Republik Indonesia, Soesilo Bambang Yudoyono (SBY), ke Riau dalam
rangka membuka perhelatan Pekan Olahraga Nasional (PON) XVIII pada tanggal 11
September 2012, meninggalkan kisah di hati Atah Roy. Kisah ini menyebabkan Atah
Roy sewel alias hampir gila. Selama 24 jam Atah Roy berdiri di ujung jambat
kampungnya. Atah Roy berdiri tegap, sambil memandang ke laut lepas. Atah Roy
menunggu, tapi tidak Orang-orang kampung tidak tahu apa yang ditunggu Atah Roy.
Menenguk bapak
saudaranya seperti itu, Leman Lengkung risau, namun Leman Lengkung tidak berani
bertanya. Leman Lengkung tahu betul, kalau Atah Roy dah tercongguk seperti itu
di jambatan, pastilah ada sesuatu yang diharapkan Atah Roy. Laut bagi Atah Roy,
yang diketahui Leman Lengkung, adalah tempat menyandarkan segala keinginan.
Dengan menatap laut, Atah Roy dapat menuangkan gagasan, melukis keinginan, lalu
menatah cemas jadi senyum.
Pada laut, Atah
Roy percaya penuh ada jiwa manusia, ada kehidupan manuisa. Luat sebagai cermin
untuk melihat diri manusia. Untuk itulah, kalau Atah Roy sedang berhadapan
dengan masalah berat, maka Atah Roy pun ‘mengadukan’ permasalahannya ke laut. Tapi
kenapa di waktu Riau ingin mencatat sejarah melaksanakan perhelatan PON? Adakah
perhelatan PON XVIII di Riau ini menyimpan misteri yang luar biasa di hati Atah
Roy? Leman Lengkung tak berani pula bertanya kepada Atah Roy.
Melihat Atah Roy
sudah dua hari berdiri di jambatan, sejak dari tanggal 10 sampai hari ini
tanggal 11 September 2012. Orang-orang kampung mulai berdatangan dan bertanya
apa yang terjadi kepada Atah Roy. Satu orang pun tak tahu apa yang sedang
dilakukan Atah Roy. Spekulasi jawaban pun ‘berterbangan’ di jambatan itu. Ada
yang mengatakan bahwa Atah Roy mau memecah rekor MURI sebagai orang yang
berdiri paling lama di jambatan. Ada juga yang berkata Atah Roy membongkar masa
lalunya sebagai atlit dayung yang gagal. Paling sadis ada yang mengatakan bahwa
Atah Roy mau bunuh diri, karena tidak diundang pada perhelatan pembukaan PON XVIII.
Orang boleh
mereka-reka dengan apa yang dibuat oleh orang lain, tapi yang paling tahu
dengan tindakan yang diperbuat adalah orang yang melakukan perbuatan itu. Namun
kepastian jawaban dari tindakan Atah Roy, belum juga ditemukan. Orang-orang bertanya
kepada Leman Lengkung, namun Leman Lengkung menjawab dengan menggelengkan
kepala.
“Man, kite harus
bertanye langsung kepade Atah Roy, kalau tidak memunculkan dugaan yang
tidak-tidak terhadap bapak saudare dikau ni,” ujar Kahar Sulah.
“Kalau Atah dah
macam ini, aku tak berani bertanye. Biasenya, kalau die dah macam ini, semue
kekuatan dalam dirinya berkumpul jadi satu. Jangan sembarang bertanye, mampus
kite kene sepak,” jelas Leman Lengkung.
“Tapi kite tak
bisa berdiam macam ni aje, Man. Orang-orang makin ramai datang ke jambatan ni,
dan makin banyak pulak dugaan-dugaan yang muncul,” Tapa Tengkes mengeluarkan
pendapat.
“Betul tu, Man.
Lagi pule sikap Atah Roy yang aneh ni, bertepatan pulak dengan perhelatan PON.
Pastilah orang menganggap Atah Roy mencari sensasi aje, memanfaatkan PON untuk
populeritas,” tambah Jang Gagak.
“Kalau aku
sendiri yang bertanye, aku tak berani, tapi kalau kite same-same bertanye, itu
lain pulak ceritenye,” jelas Leman Lengkung.
“Tak masalah,
kite same-same bertanye,” Yusup Cacing menyakinkan.
Dengan langkah
agak ragu, beberapa orang mendekati Atah Roy. Mereka saling berpandangan dan
menggoyangkan kepala menandakan untuk memulai bertanya. Namun belum juga ada
yang berani bertanya. Mereka saling berpandangan lagi, dan dari mata mereka
sepekat menunjuk Leman Lengkung yang harus bertanya dulu. Leman Lengkung
menarik nafas panjang. Dia benar-benar terbebani dengan kesepakatan mata
kawan-kawannya. Tidak ada pilihan lagi, Leman Lengkung harus bertanya.
“Maaf, Tah,
sudah due hari Atah berdiri di sini, ade ape sebetulnye, Tah?” Leman Lengkung
dengan suara agak ketakutan memberanikan diri bertanya.
Atah Roy diam
saja. Dia masih menatap lautan luat lekat-lekat. Mata Atah Roy memang penuh
harap, tapi entah harapan apa yang ada di mata itu.
“Tah, kalau bisa
kami bantu, kami dengan sekuat tenage dan pikiran membantu Atah,” tambah Kahar
Sulah.
“Betul, Tah,
sebagai generasi mude kami tak ingin Atah menanggung beban sendiri. Kami
bertanggung jawab dengan apepun permasalahan yang sedang Atah hadapi,” Yusup
Cacing yakin.
Perlahan-lahan
Atah Roy mengalihkan pandangannya dari laut ke kawan-kawan Leman Lengkung. Satu
persatu kawan-kawan Leman Lengkung ditatap Atah Roy. Atah Roy tersenyum,
kawan-kawan Leman Lengkung ikut tersenyum.
“Aku menunggu
harapan agar kampung kite tidak ketinggalan,” suara Atah Roy berat.
Kawan-kawan
leman Lengkung saling berpandangan. Mereka tidak mengerti apa yang dimaksudkan
Atah Roy.
“Maksud Atah,
ape?” Kahar Sulah berni bertanya.
“Aku menunggu
presiden datang ke kampung kite,” jelas Atah Roy.
“Ngape pulak
macam tu, Tah?” Tapa Tengkes menyela.
“Tak mungkin
presiden datang ke kampung kite, Tah?” tanya Kahar Sulah pula.
“Itulah, kalau
presiden datang ke kampung kite, pasti jalan kampung kite ni tak rusak lagi.
Sekolah kite tak macam kandang kambing, parit kite kene beton, pelabuhan kite
tak condung lagi, pokoknye kampung kite berubah total,” jelas Atah Roy.
“Tapi tak
mungkin presiden datang ke kampung kite, Tah,” ujar Kahar Sulah mengulangi
pernyataannya.
“Itu sebabnye,
aku berdiri di jambatan ini, nak menyeru kepade kekuatan laut, agar presiden
datang ke kampung kite,” Atah Roy yakin.
Kawan-kawan
Leman Lengkung saling berpandangan kembali, dan tanpa aba-aba, mereka berdiri
seperti Atah Roy untuk menyeru kekuatan laut nak memanggil presiden.
Orang-orang
kampung di belakang mereka heran, dan menduga-duga, kawan-kawan Leman Lengkung
kemasukan seperti Atah Roy juga. Mereka kembali menduga-duga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar