Sudah lama Atah
Roy menyakini bahwa tradisi punya kekuatan. Kekuatan magis yang dapat
menggetarkan jiwa. Kekuatan yang mengobarkan semangat untuk tetap mencintai
negeri ini. Kekuatan untuk tetap berdiridi atas kaki sendiri, lalu membusungkan
dada sambil mengepalkan tangan dan dari mulut melompat kalimat “inilah kami
dengan segala kekuatannya!” Tradisi menyediakan semangat itu.
Tradisi bagi
Atah Roy seperti roh yang tidak mungkin lepas dari jasatnya. Untuk
mempertahankan tradisi inilah, Atah Roy rela ‘berkelahi’ dengan siapa saja,
terutama orang-orang yang menganggap tradisi sebagai sampah. Atah Roy juga
berpikir bahwa pada zaman kenen alias zaman kini, orang-orang banyak yang sok
kemodern-modernan, sehingga tradisi mau dicampakkan begitu saja. Padahal, zaman
kenen hadir dari masa lalu. Orang kenen, menurut Atah Roy, asik nak
membanggakan diri dengan menyerap kebudayaan asing. Kebudayaan asing yang
mereka telan, kata Atah Roy, sebenarnya berasal dari tradisi juga. Untuk itulah
Atah Roy berpesan, tradisi tempatan harus tetap dipertahankan, walaupun ada
penambahan kekinian, namun tradisi harus tetap jaya.
Atah Roy
teringat dengan tulisan Rendra, Sang Burung Merak itu; Sebagaimana seseorang
tak mungkin hidup tanpa alam, maka demikian seseorang tak mungkin hidup tanpa
tradisi. Sepotong tanah harus ada, agar seseorang dapat berdiri atau duduk.
Demikian halnya, suatu tradisi adalah suatu kesadaran kolektif, yaitu kesadaran
suatu masyarkat tentang dirinya. Akan tetapi dalam kesadaran kebudayaan,
tradisi tak diperlakukan sebagai benda mati, melainkan sesuatu yang hidup dan
bertumbuh terus mengukuti perkembangan kebutuhan dari orang-orang yang hidup di
dalamnya.
Atah Roy
menyadari, bahwa kebudayaan itu tidak statis, kebudayaan itu dinamis, bergerak
mengikuti zamannya. Nilai-nilai tradisi, menurut Atah Roy, mengajak manusia
mengarifi kehidupan ini. Memang diperlukan sentuhan kreatif, sehingga tradisi
bukan sesuatu yang memuakkan. Sentuhan kreatif inilah yang menghidupkan
tradisi, tak lepas dari nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi.
Bukan
mengada-ada ataupun nak membesar-besarkan diri, Melayu memiliki tradisi yang
kuat, sehingga sangat layak dimunculkan pada hari ini. Tentu saja, tidak salah
apabila tradisi Melayu itu dipoles dengan kekinian. Tidak salah juga, dan itu
harus, orang yang menjaga tradisi ‘murni’ tidak tersentuh ‘tangan’ kekinian.
Hal ini, menurut Atah Roy, untuk menjaga kelestarian nilai yang terkandung
dalam tradisi. “Bagaimana orang nak memoles tradisi, kalau tradisi dikubur dalam-dalam?”
tanya Atah Roy dalam hati.
Bagi Atah Roy,
orang-orang yang memusuhi tradisi adalah orang-orang yang memusuhi diri
sendiri. Manusia kenen, tambah Atah Roy, ada karena masa lalu dan masa lalu
membuka jalan untuk orang masa kenen. “Janganlah nak belagak menjadi orang
modern, dan mengagungkan pemikiran asing, lalu mencampakkan tradisi. Tradisi
telah menyediakan pemikiran-pemikiran hebat, tinggal kita lagi mengokahnye
menjadi kekuatan hari ini,” tutur Atah Roy masih dalam hati.
Leman Lengkung
menghampiri Atah Roy, dan Leman Lengkung heran melihat Atah Roy tersenyum
sambil mengerutkan keningnya. Dalam hati Leman Lengkung menduga, kalau Atah Roy
seperti ini, pasti ada sesuatu yang berkelahi di benaknya. Leman Lengkung
memberanikan diri bertanya.
“Ape yang Atah
pikirkan?”
“Aku bangga jadi
orang Riau, Man,” jawab Atah Roy.
“Saye dah lame
bangga, Tah. Kenape pulak baru sekarang Atah bercakap macam tu?” Leman Lengkung
bertanya lagi.
“Kite punye
kekuatan, Man,” selambe Atah Roy menjawab.
“Maksud Atah?”
“Tradisi
mempertahankan kite mencitai negeri ini, Man,” jawaban Atah Roy masih belum
dipahami Leman Lengkung.
“Maksud Atah,
ape ni?”
“Dikau nenguk
pembukaan dan penutupan PON XVIII 2012 di negeri kite ini kan?” Atah Roy balik
bertanya.
“Nenguklah Tah,
ape pulak teng nenguk. Ape istimewanya?”
Mata Atah Roy
terbuka lebar. Kemarahan naik ke kepalanya. Melihat mata Atah Roy terpendel,
Leman Lengkung mulai ketakutan.
“Ngape, Tah?”
suara Leman Lengkung bergetar karena ketakutan.
“Dikau ni
betul-betullah tak memiliki otak yang cerdas sedikit pun!” suara Atah Roy mulai
meninggi.
“Ape
istimewanye, Tah?” Leman Lengkung bertambah kecut, namun masih sempat bertanya.
“Tak lah dikau
merasekan bahwa kite dipersatukan oleh pertunjukan ‘Dalam Kasih Sayang Air’ tu?
Bagaimana Riau daratan dan Riau pesisir disatupadukan menjadi kekuatan, dan
memunculkan rasa kebanggaan menjadi orang Riau. Tradisi Riau pade malam itu
menjadi perekat, bahwe kite adalah satu. Inilah kekuatan Riau itu, darat maupun
laut. Dalam pegelaran itu, kite seakan ditampar bahwa negeri ini punye marwah.
Tak lah dikau menenguk semue itu?” suara Atah Roy terdengar parau, tersebab
marah yang memuncak.
“Kalau itu, saye
sado, Tah,” Leman Lengkung bertambah takut.
“Kenape dikau
bertanye ‘ape istimewanye’?” sergah Atah Roy.
“Saye gurau je,
Tah. Saye tahu kalau Atah marah, otak Atah bertambah tajam alias cerdas. Itu
sebabnye, saye pura-pura bertanye,” ujar Leman Lengkung menggigil.
“Hehehehe...”
Atah Roy bangga dan langsung meninggalkan Leman Lengkung sendiri.
“Paling geli
neguk Atah Roy, macam die aje Melayu,” ucap Leman Lengkung pelan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar