Selamat Datang di Hikayat Atah Roy. Senyum Adalah Keikhlasan yang Tak Terucap

Sabtu, 22 September 2012

The Power of Tradition


Sudah lama Atah Roy menyakini bahwa tradisi punya kekuatan. Kekuatan magis yang dapat menggetarkan jiwa. Kekuatan yang mengobarkan semangat untuk tetap mencintai negeri ini. Kekuatan untuk tetap berdiridi atas kaki sendiri, lalu membusungkan dada sambil mengepalkan tangan dan dari mulut melompat kalimat “inilah kami dengan segala kekuatannya!” Tradisi menyediakan semangat itu.
Tradisi bagi Atah Roy seperti roh yang tidak mungkin lepas dari jasatnya. Untuk mempertahankan tradisi inilah, Atah Roy rela ‘berkelahi’ dengan siapa saja, terutama orang-orang yang menganggap tradisi sebagai sampah. Atah Roy juga berpikir bahwa pada zaman kenen alias zaman kini, orang-orang banyak yang sok kemodern-modernan, sehingga tradisi mau dicampakkan begitu saja. Padahal, zaman kenen hadir dari masa lalu. Orang kenen, menurut Atah Roy, asik nak membanggakan diri dengan menyerap kebudayaan asing. Kebudayaan asing yang mereka telan, kata Atah Roy, sebenarnya berasal dari tradisi juga. Untuk itulah Atah Roy berpesan, tradisi tempatan harus tetap dipertahankan, walaupun ada penambahan kekinian, namun tradisi harus tetap jaya.
Atah Roy teringat dengan tulisan Rendra, Sang Burung Merak itu; Sebagaimana seseorang tak mungkin hidup tanpa alam, maka demikian seseorang tak mungkin hidup tanpa tradisi. Sepotong tanah harus ada, agar seseorang dapat berdiri atau duduk. Demikian halnya, suatu tradisi adalah suatu kesadaran kolektif, yaitu kesadaran suatu masyarkat tentang dirinya. Akan tetapi dalam kesadaran kebudayaan, tradisi tak diperlakukan sebagai benda mati, melainkan sesuatu yang hidup dan bertumbuh terus mengukuti perkembangan kebutuhan dari orang-orang yang hidup di dalamnya.
Atah Roy menyadari, bahwa kebudayaan itu tidak statis, kebudayaan itu dinamis, bergerak mengikuti zamannya. Nilai-nilai tradisi, menurut Atah Roy, mengajak manusia mengarifi kehidupan ini. Memang diperlukan sentuhan kreatif, sehingga tradisi bukan sesuatu yang memuakkan. Sentuhan kreatif inilah yang menghidupkan tradisi, tak lepas dari nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi.
Bukan mengada-ada ataupun nak membesar-besarkan diri, Melayu memiliki tradisi yang kuat, sehingga sangat layak dimunculkan pada hari ini. Tentu saja, tidak salah apabila tradisi Melayu itu dipoles dengan kekinian. Tidak salah juga, dan itu harus, orang yang menjaga tradisi ‘murni’ tidak tersentuh ‘tangan’ kekinian. Hal ini, menurut Atah Roy, untuk menjaga kelestarian nilai yang terkandung dalam tradisi. “Bagaimana orang nak memoles tradisi, kalau tradisi dikubur dalam-dalam?” tanya Atah Roy dalam hati.
Bagi Atah Roy, orang-orang yang memusuhi tradisi adalah orang-orang yang memusuhi diri sendiri. Manusia kenen, tambah Atah Roy, ada karena masa lalu dan masa lalu membuka jalan untuk orang masa kenen. “Janganlah nak belagak menjadi orang modern, dan mengagungkan pemikiran asing, lalu mencampakkan tradisi. Tradisi telah menyediakan pemikiran-pemikiran hebat, tinggal kita lagi mengokahnye menjadi kekuatan hari ini,” tutur Atah Roy masih dalam hati.
Leman Lengkung menghampiri Atah Roy, dan Leman Lengkung heran melihat Atah Roy tersenyum sambil mengerutkan keningnya. Dalam hati Leman Lengkung menduga, kalau Atah Roy seperti ini, pasti ada sesuatu yang berkelahi di benaknya. Leman Lengkung memberanikan diri bertanya.
“Ape yang Atah pikirkan?”
“Aku bangga jadi orang Riau, Man,” jawab Atah Roy.
“Saye dah lame bangga, Tah. Kenape pulak baru sekarang Atah bercakap macam tu?” Leman Lengkung bertanya lagi.
“Kite punye kekuatan, Man,” selambe Atah Roy menjawab.
“Maksud Atah?”
“Tradisi mempertahankan kite mencitai negeri ini, Man,” jawaban Atah Roy masih belum dipahami Leman Lengkung.
“Maksud Atah, ape ni?”
“Dikau nenguk pembukaan dan penutupan PON XVIII 2012 di negeri kite ini kan?” Atah Roy balik bertanya.
“Nenguklah Tah, ape pulak teng nenguk. Ape istimewanya?”
Mata Atah Roy terbuka lebar. Kemarahan naik ke kepalanya. Melihat mata Atah Roy terpendel, Leman Lengkung mulai ketakutan.
“Ngape, Tah?” suara Leman Lengkung bergetar karena ketakutan.
“Dikau ni betul-betullah tak memiliki otak yang cerdas sedikit pun!” suara Atah Roy mulai meninggi.
“Ape istimewanye, Tah?” Leman Lengkung bertambah kecut, namun masih sempat bertanya.
“Tak lah dikau merasekan bahwa kite dipersatukan oleh pertunjukan ‘Dalam Kasih Sayang Air’ tu? Bagaimana Riau daratan dan Riau pesisir disatupadukan menjadi kekuatan, dan memunculkan rasa kebanggaan menjadi orang Riau. Tradisi Riau pade malam itu menjadi perekat, bahwe kite adalah satu. Inilah kekuatan Riau itu, darat maupun laut. Dalam pegelaran itu, kite seakan ditampar bahwa negeri ini punye marwah. Tak lah dikau menenguk semue itu?” suara Atah Roy terdengar parau, tersebab marah yang memuncak.
“Kalau itu, saye sado, Tah,” Leman Lengkung bertambah takut.
“Kenape dikau bertanye ‘ape istimewanye’?” sergah Atah Roy.
“Saye gurau je, Tah. Saye tahu kalau Atah marah, otak Atah bertambah tajam alias cerdas. Itu sebabnye, saye pura-pura bertanye,” ujar Leman Lengkung menggigil.
“Hehehehe...” Atah Roy bangga dan langsung meninggalkan Leman Lengkung sendiri.
“Paling geli neguk Atah Roy, macam die aje Melayu,” ucap Leman Lengkung pelan.     
   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar