Pimpinan perempuan dari Tanah Melayu
Pada abad ke 19, kerajaan Riau Lingga pernah dinahodai oleh perempuan. Masa
jambatannya memang tidak lama, lebih kurang 2 tahun. Namun demikian, pada hari
ini pristiwa tersebut layak direnungkan kembali. Rupanya di tengah derasnya
gerakan ‘perempuan perkasa’ orang Melayu telah terlebih dahulu memacak momentum
‘perempuan boleh’. Embong Fatimah nama perempuan itu, sultanah dari keturunan
Sultan Mahmud Muzafarsyah yang dengan ikhlas melentakkan jabatannya sebagai
sultanah, karena menghargai fatwa ulama Aceh dan Mekkah; perempuan tidak boleh
menjabat sebagai pimpinan kerajaan. Lantas apakah Embon Fatimah ‘membunuh’
keperkasaannya. Berikut ini petikan wawancara khayal Embong Fatimah (E.F)
dengan Atah Roy.
Atah Roy : Setelah meletakkan jabatan sebagai Sultanah Riau Lingga, katenye
Puan tak pakai keluar dari umah. Ape betol tu?
E. Fatimah : Taklah. Hamba tetap menjalankan tugas
sebagai warga kerajaan yang baik.
Atah Roy : Maksudnye?
E. Fatimah : Sebagai
seorang istri, hamba berkewajiban menumbuhkan kasih sayang di keluarga hamba.
Hamba menuangkan segala pemikiran untuk mendukung suami hamba dalam menjalankan
tugas kerajaannya. Selain itu, hamba juga mendidik anak-anak hamba bagaimana
menjadi orang yang berguna di tengah masyarakat. Itulah tugas hamba yang paling
berat, dibandingkan menjadi pimpinan kerajaan.
Atah Roy : Ngape pulak macam tu?
E. Fatimah : Tugas pimpinan hanya memerintah dan
menilai, sementara tugas seorang emak mengajak, mencontohkan, memimbing dan
mengingatkan suami dan anak setiap saat agar memberi yang terbaik untuk
kerajaan.
Atah Roy : Sebagai Sultanah, puan kan bisa mengatur
semuanya? Lagi pulak Sultanah itu kan ‘air ludahnye’ masin. Ape yang die cakap,
make akan terwujud?
E. Fatimah : (Tersenyum) Menjadi pimpinan kerajaan itu
bukan kehendak hati pimpinan yang harus diwujudkan, tetapi kehendak orang
banyak atau masyarakat yang harus diwujudkan. Kerajaan itu bukanlah milik
pimpinan. Pimpinan hanya mendapat amanah untuk menyejahterakan orang banyak.
Atah Roy : Boleh saye tahu...
E. Fatimah : Apa salahnya. Semakin banyak Tuan Hamba tahu, makin baguslah.
Atah Roy : Ini maaf dulu puan...
E. Fatimah : Tak apa.
Atah Roy : Berape duit yang puan habiskan untuk
duduk menjadi pimpinan kerajaan?
E. Fatimah : Duit? Duit apa?
Atah Roy : Duit sosialisasi alias kampanyelah.
E. Fatimah : Duit
seharga seikat kangkong pun tak pernah saya keluarkan. Saya dipilih berdasarkan
musyawarah dan diminta oleh rakyat.
Atah Roy : Oooo...
E. Fatimah : Mengapa awak bertanya seperti itu?
Atah Roy : Tak ade. Di negeri saye, kalau nak jadi
pimpinan atau duduk sebagai dewan kehormatan, harus punye duit berguni-guni.
Ade duit, jadi ape pun bisa, walaupun hotaknye bangang.
E. Fatimah : Ah... Masa’?
Atah Roy : Auk deeeehhhh....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar