Selamat Datang di Hikayat Atah Roy. Senyum Adalah Keikhlasan yang Tak Terucap

Rabu, 28 September 2011

Surat Menggadai Negeri


“Roy, aku tahu dikau marah pade aku, karena aku tak mampu memberikan yang terbaik untuk negeri ini. Aku salah selame ini Roy. Aku pikir, kekuasaan akan mampu menciptakan taman keriangan bagi aku dan juga rakyat banyak. Rupenye untuk berkuasa, kita harus membunuh hati nurani, karena kekuasaan di zaman sekarang ini bukan dinilai dari keikhlasan, kasih sayang dan intelektualitas, tapi dinilai dari berape banyak duit yang kite punye.

Dikau tahukan Roy, keadaan aku sebelum menjadi orang penting di negeri ini kan? aku di lahirkan dari orang tua yang tidak memiliki apa-apa, selain kasih sayang. Ebah hanya nelayan di sungai. Untuk mencukupi kebutuhan keseharian, emak terpakse monereh getah milik Pak Jamal, yang upahnye tak seberape. Orang tue aku tidak pernah mengeluh. Tiap waktu mereka bergelut dengan kemiskinan, namun mereka tidak pernah memperlihatkan penderitaan di depan anak-anak mereka. Mereka mampu menyembunyikan kepedihan itu, namun aku tahu betape sakitnye mereka memendam hal itu di dalam hati. Aku pernah melihat ebah menangis pada malam hari, karena beban hidup yang semakin berat. Emaklah yang membesar-besarkan hati ebah, sehingga ebah tegar menyulam hidup kembali.

Roy, jangan kau berpikir bahwa aku tidak pernah melihat ke belakang; mengenang mase lalu aku. Masih terbayang Roy, bagaimane kedue adik aku meninggal disebabkan busung lapar. Kami tak punye duit nak membawa adik-adikku ke puskesmas, jangankan untuk berobat, untuk makan saje kami kekurangan. Dan aku masih ingat bagaimane mayat ebah aku di temukan di laut, sebulan setelah kedue adikku meninggal. Aku tak kan melupekan semue itu Roy. Itu sejarah hidup aku yang senantiase aku simpan dalam hati ini.

Dikau tahu kan Roy, kenape aku pergi dari kampung, setelah emak aku meninggal? Satu tahun emak aku terbaring di tempat tidur yang hanye beralas tikar pandan. Dikau tahu juge kan penyebab emak aku sakit? Keperkasaan emak aku, rupenye rubuh juge. Die tak sanggup menanggung malu dituduh mencuri getah milik Pak Jamal. Bagi emak aku, kemiskinan yang menghantam hidup kami, bukan alasan untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan agama. Merugikan orang lain, bukanlah jiwanya.

Bukan aku tak mengenang semue peristiwa yang pernah aku lalui selame ini, Roy. Aku mengenang semuenya, peristiwa itu adalah diri aku. Namun peristiwa itu tak bisa menjadi kekuatan aku untuk menghidar dari serangan keserakahan dan ketamakan yang ade dalam diriku.

Pade awalnye aku berpikir bahwa dengan memiliki kekuasaan, aku akan mampu mengubah orang-orang yang mengalami nasib seperti aku dahulu. Tapi nyatenye, untuk mendapatkan kekuasaan, aku harus membuka ruang kelemahan di hatiku. Aku pun mulai mengumpulkan duit dari kerje aku sendiri, maupun dari beberapa kawan yang menganggap aku mampu jadi penguasa di negeri ini. Kawan-kawan aku yang notabene pengusaha ‘gelap’, terus mendorong dan memberi pinjaman duit dalam jumlah besar. Duit yang mereka berikan kepada aku merupakan pinjaman yang harus aku kembalikan dengan jaminan mereka akan menguasai beberapa proyek di negeri ini.

Aku memang betul-betul jauh tersesat, Roy. Aku memang jadi penguasa di negeri ini, tapi aku tak mampu berbuat apa-apa. Segala keinginanku untuk mengubah nasib orang-orang yang sama seperti aku dahulu, dikalahkan dengan kehendak orang-orang yang membantu aku jadi penguasa. Mereka benar-benar menciptakan aku seperti robot yang menjalankan segala keinginan mereka. Benar apa yang dikatakan emak aku “Walaupun kita miskin, jangan sesekali berutang kepada orang lain.”

Maafkan aku Roy. Aku dengan terpakse melakukan kehendak yang bukan berasal dari hati. Dan aku terpaksa menggadai negeri ini, karena aku bukanlah aku. Aku adalah jelmaan kekuasaan orang yang tamak dan serakah.

Sekali lagi, maafkan aku, Roy.”

Atah Roy tersandar di kursi yang dibuatnya 3 tahun yang lalu, sementara surat dari Karim Bakau didekap di dadanya. “Ngapelah dikau macam ini, Rim. Tak sangke aku, rupenye dikau lebih susah dari aku,” ucap Atah Roy dalam hati.

Leman Lengkung masuk terengah-engah. Di tangannya ada surat kabar. Atah Roy tidak memperdulikan Leman Lengkung. Atah Roy masih membayangkan wajah Karim Bakau. “Elok dikau menjual kayu bakau untuk dijadikan kayu api, dibandingkan dikau menjual negeri ini, Rim,” kata Atah Roy, masih dalam hati.

“Tah, negeri kite dah tak tentu arah,” Lemang Lengkung terbata-bata.

Atah Roy melihat Leman Langkung dengan mata yang tak bersemangat. Melihat Atah Roy seperti itu, Leman Lengkung menyodorkan surat kabar di tangannya.

“Bace Tah, penguasa negeri kite di penjara, gara-gara proyek banyak masalah,” Leman Lengkung masih terengah-engah.

Atah Roy mengambil surat kabar dari tangan Leman Lengkung. Di halaman muka surat kabar itu terpampang wajah yang sangat ia dikenal. Atah Roy menggelengkan kepale, tiba-tiba air matanya mengalir ke pipi. Atah Roy teringat Karim Bakau kecil, menoreh getah, membantu emaknya di kebun Pak Jamal, tanpa mengenakan baju.

“Ngape Atah nangis? Kenal tidak, saudare tidak, tibe-tibe menangis. Orang macam itu, pantas mendapat hukuman, Tah,” ujar Leman Lengkung.

Atah Roy berdiri dan matanya menatap tajam ke Leman Lengkung. “Sekali lagi dikau bercakap macam itu, aku terajang dikau!” kata Atah Roy langsung meninggalkan Leman Lengkung. Leman Lengkung terdiam seperti patung, cuma matanya saja yang bergerak melihat kepergian Atah Roy masuk ke kamar sambil memegang selembar kertas surat. (Foto dari forum.vivanews.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar