Atah Roy
tersenyum lebar melihat Leman Lengkung bangga menggunakan seragam organisasi
kepemudaan yang baru terbentuk di kampungnya. Atah Roy pun teringat masa
mudanya. Waktu itu usianya baru 23 tahun. Bersama kawan-kawannya, Ijal Jambol,
Tami Galah, Usman Botak dan Nawi Cengkung membentuk organisasi pemuda untuk
membela tanah mereka dari perusahaan minyak yang akan beroperasi. Berbagai
macam syarat pun mereka rancang demi membela masyarakat. Salah satu rancangan
mereka yang monumental adalah masyarakat setampat harus sejahtera, namun sampai
saat ini, perusahaan sudah 30 tahun lebih beroperasi, masyarakat kampung tetap
tidak sejahtera alias papa kedana.
Sementara itu, Ijal Jambol sudah pula jadi anggota DPRD kabupaten, Tami Galah
jadi kepala dinas, Usman Botak jadi dosen negeri di ibu kota provinsi, Nawi Cengkung
merantau ke Malaysia dan Atah Roy sendiri masih menetap di kampung bekerja
sebagai penoreh getah. Cita-cita mereka untuk menyejahterakan masyarakat
terkubur bersama kesibukan masing-masing.
Atah Roy masih
tersenyum melihat Leman Lengkung. Pandangan dan senyuman Atah Roy, sangat
menganggu perasaan Leman Lengkung. Leman Lengkung dengan perasaan penasaran
menghampiri Atah Roy.
“Kenape Atah
senyum-senyum nenguk saye?” Leman Lengkung bertanya sambil duduk sebelah Atah
Roy.
“Yakin dikau
bisa mempertahankan semangat membela masyarakat kampung ini?” Atah Roy balik
bertanya.
“Kenape Atah Roy
ragu?” Leman Lengkung bertanya juga.
Atah Roy menghisap rokoknya dalam-dalam.
Atah Roy terbayang kembali kawan-kawan lamanya. Tergiang suara Ijal Jambol yang
berat parau. “Sebagai pemuda, kite wajib mengorbankan segale kemampuan kite
untuk memperjuangkan kesejahteraan masyarakat kampung kite ni.” Kata-kata yang
melompat dari mulut Ijal Jambol berapi, namun api itu sekarang padam, sejalan dengan
kedudukkan menjadi anggota dewan. Ijal Jambol lebih banyak mengurus hal-hal
yang tak penting dibandingkan mengurus kampung sendiri.
“Kenape Atah
diam aje?” Leman Lengkung memburu Atah Roy dengan pertanyaannya.
Atah Roy tak
menjawab. Atah Roy menghembuskan asap rokok. Dari asap rokok tersebut Atah Roy
terbayang wajah Tami Galah. “Harge mati! Pokoknye pemuda kampung kite harus sekolah,
tak ade yang tak bersekolah! Untuk ape ade perusahaan beso, kalau pemuda kite
tak bisa mengecap pendidikan setinggi-tingginye!” teriak Tami Galah di depan
bupati, tapi teriak Tami Gelah meredup setelah Tami Galah dapat beasiswa dan
melanjutkan kuliah ke Tanah Jawa. Sampai duduk menjadi kepala dinas, suara Tami
Galah tak pernah menggelegar macam dulu lagi.
“Atah jangan
mempermainkan saye!” Leman Lengkung mulai emosi.
Atah Roy masih
belum menjawab. Dia menaruk abu rokok dari tangannya ke asbak di atas meja. Dari
abu rokok itu Atah Roy terbayang wajah Usman Botak. Pada waktu mudanya, Usman
Botak memiliki pemikiran yang keras berdasarkan kenyataan orang-orang kampung,
namun kini Usman Botak sibuk dengan teori-teori baratnya nak mengubah pandangan
orang kampung. Atah Roy tak sadar, air matanya mengalir ke pipi.
Melihat Atah Roy
menangis, Leman Lengkung salah tingkah. Leman Lengkung menyesali telah
membentak bapak saudaranya. Leman Lengkung cepat-cepat mengambil tangan kanan
Atah Roy lalu mencium tangan tersebut.
“Maafkan saye,
Tah. Saye bukan marah Atah, cume emosi saye tak terkontrol. Maafkan saye ye,
Tah,” Leman Lengkung berulang-ulang mencium tangan Atah Roy. Atah Roy terkejut,
lalu menarik tangan kanannya dari ciuman Leman Lengkung.
“Ngape dikau ni,
Man?” Atah Roy mengelap tangannya yang basah oleh air mata Leman Lengkung.
“Jadi, Atah
mengeluarkan air mate bukan disebabkan saye membentak Atah?” Leman Lengkung salah
tingkah.
“Sorry ye, tak
bual aku bersedih gara-gara kene bentak dikau! Dah banyak aku kene bentak
orang-orang besar dibanding dikau, Man!” ujar Atah Roy.
“Atah bersedih
kene ape?” Leman Lengkung penasaran, karena jarang sekali Atah Roy menitikkan
air mata. Setahu Leman Lengkung, Atah Roy bersedih dan menitikkan air mata
ketika Atah menginggat Julaiha, cewek lame Atah Roy. Disebabkan Julaiha nikah
dengan orang lainlah, Atah Roy jadi bujang lapok sampai sekarang.
“Aku teringat
Nawi Cengkung. Die terpakse ke Malaysia mencari kerje, karene di kampung, walaupun
perusahaan minyak ade, die tak diterime kerje di perusahaan. Sementare,
kawan-kawan die, kecuali aku, dah jadi orang beso. Perjuangan kami dulu macam
tapai; dah semue dapat tempat sedap, kawan yang belum beruntung tak
dipedulikan. Aku tak kesah beno, karena dari bapak aku, datuk dikau, masih ade
kebun getah. Bagi Nawi Cengkung yang hidupnye susah sejak dari nenek moyangnye,
tentu perjuangan bersame-same itu menjadi luke yang dalam, melihat kawan-kawan
die dah jadi orang sukses,” jelas Atah Roy panjang lebar.
“Jadi, Atah tak
setuju aku masuk organisasi kepemudaan untuk membela masyarakat kampung kite
ni?” Leman Lengkung tak puas hati.
“Bukan aku tak
setuju, Man. Siape lagi nak memperjuangkan kampung kite ni, kalau tak mike yang
mude-mude ini. Tapi aku mengingatkan, berjuanglah dengan hati yang bersih
membela orang kampung, jangan dah diberi sesuatu, entah itu duit, kedudukan,
perjuangan mike macam tapai campak ke lantai; lenyik. Contoh dah banyak, belum
dapat kedudukan ataupun materi, perjuangan macam api. Tapi dah dapat, eeeee....
malas aku nak komen,” ujar Atah Roy meninggalkan Leman Lengkung sendiri. Leman
Lengkung, menelan iar liurnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar