Selamat Datang di Hikayat Atah Roy. Senyum Adalah Keikhlasan yang Tak Terucap

Sabtu, 10 September 2011

Ideologi Tapai


Atah Roy tersenyum lebar melihat Leman Lengkung bangga menggunakan seragam organisasi kepemudaan yang baru terbentuk di kampungnya. Atah Roy pun teringat masa mudanya. Waktu itu usianya baru 23 tahun. Bersama kawan-kawannya, Ijal Jambol, Tami Galah, Usman Botak dan Nawi Cengkung membentuk organisasi pemuda untuk membela tanah mereka dari perusahaan minyak yang akan beroperasi. Berbagai macam syarat pun mereka rancang demi membela masyarakat. Salah satu rancangan mereka yang monumental adalah masyarakat setampat harus sejahtera, namun sampai saat ini, perusahaan sudah 30 tahun lebih beroperasi, masyarakat kampung tetap tidak sejahtera alias papa kedana. Sementara itu, Ijal Jambol sudah pula jadi anggota DPRD kabupaten, Tami Galah jadi kepala dinas, Usman Botak jadi dosen negeri di ibu kota provinsi, Nawi Cengkung merantau ke Malaysia dan Atah Roy sendiri masih menetap di kampung bekerja sebagai penoreh getah. Cita-cita mereka untuk menyejahterakan masyarakat terkubur bersama kesibukan masing-masing.
Atah Roy masih tersenyum melihat Leman Lengkung. Pandangan dan senyuman Atah Roy, sangat menganggu perasaan Leman Lengkung. Leman Lengkung dengan perasaan penasaran menghampiri Atah Roy.
“Kenape Atah senyum-senyum nenguk saye?” Leman Lengkung bertanya sambil duduk sebelah Atah Roy.
“Yakin dikau bisa mempertahankan semangat membela masyarakat kampung ini?” Atah Roy balik bertanya.
“Kenape Atah Roy ragu?” Leman Lengkung bertanya juga.
Atah Roy menghisap rokoknya dalam-dalam. Atah Roy terbayang kembali kawan-kawan lamanya. Tergiang suara Ijal Jambol yang berat parau. “Sebagai pemuda, kite wajib mengorbankan segale kemampuan kite untuk memperjuangkan kesejahteraan masyarakat kampung kite ni.” Kata-kata yang melompat dari mulut Ijal Jambol berapi, namun api itu sekarang padam, sejalan dengan kedudukkan menjadi anggota dewan. Ijal Jambol lebih banyak mengurus hal-hal yang tak penting dibandingkan mengurus kampung sendiri.
“Kenape Atah diam aje?” Leman Lengkung memburu Atah Roy dengan pertanyaannya.
Atah Roy tak menjawab. Atah Roy menghembuskan asap rokok. Dari asap rokok tersebut Atah Roy terbayang wajah Tami Galah. “Harge mati! Pokoknye pemuda kampung kite harus sekolah, tak ade yang tak bersekolah! Untuk ape ade perusahaan beso, kalau pemuda kite tak bisa mengecap pendidikan setinggi-tingginye!” teriak Tami Galah di depan bupati, tapi teriak Tami Gelah meredup setelah Tami Galah dapat beasiswa dan melanjutkan kuliah ke Tanah Jawa. Sampai duduk menjadi kepala dinas, suara Tami Galah tak pernah menggelegar macam dulu lagi.
“Atah jangan mempermainkan saye!” Leman Lengkung mulai emosi.
Atah Roy masih belum menjawab. Dia menaruk abu rokok dari tangannya ke asbak di atas meja. Dari abu rokok itu Atah Roy terbayang wajah Usman Botak. Pada waktu mudanya, Usman Botak memiliki pemikiran yang keras berdasarkan kenyataan orang-orang kampung, namun kini Usman Botak sibuk dengan teori-teori baratnya nak mengubah pandangan orang kampung. Atah Roy tak sadar, air matanya mengalir ke pipi.
Melihat Atah Roy menangis, Leman Lengkung salah tingkah. Leman Lengkung menyesali telah membentak bapak saudaranya. Leman Lengkung cepat-cepat mengambil tangan kanan Atah Roy lalu mencium tangan tersebut.
“Maafkan saye, Tah. Saye bukan marah Atah, cume emosi saye tak terkontrol. Maafkan saye ye, Tah,” Leman Lengkung berulang-ulang mencium tangan Atah Roy. Atah Roy terkejut, lalu menarik tangan kanannya dari ciuman Leman Lengkung.
“Ngape dikau ni, Man?” Atah Roy mengelap tangannya yang basah oleh air mata Leman Lengkung.
“Jadi, Atah mengeluarkan air mate bukan disebabkan saye membentak Atah?” Leman Lengkung salah tingkah.
“Sorry ye, tak bual aku bersedih gara-gara kene bentak dikau! Dah banyak aku kene bentak orang-orang besar dibanding dikau, Man!” ujar Atah Roy.
“Atah bersedih kene ape?” Leman Lengkung penasaran, karena jarang sekali Atah Roy menitikkan air mata. Setahu Leman Lengkung, Atah Roy bersedih dan menitikkan air mata ketika Atah menginggat Julaiha, cewek lame Atah Roy. Disebabkan Julaiha nikah dengan orang lainlah, Atah Roy jadi bujang lapok sampai sekarang.
“Aku teringat Nawi Cengkung. Die terpakse ke Malaysia mencari kerje, karene di kampung, walaupun perusahaan minyak ade, die tak diterime kerje di perusahaan. Sementare, kawan-kawan die, kecuali aku, dah jadi orang beso. Perjuangan kami dulu macam tapai; dah semue dapat tempat sedap, kawan yang belum beruntung tak dipedulikan. Aku tak kesah beno, karena dari bapak aku, datuk dikau, masih ade kebun getah. Bagi Nawi Cengkung yang hidupnye susah sejak dari nenek moyangnye, tentu perjuangan bersame-same itu menjadi luke yang dalam, melihat kawan-kawan die dah jadi orang sukses,” jelas Atah Roy panjang lebar.
“Jadi, Atah tak setuju aku masuk organisasi kepemudaan untuk membela masyarakat kampung kite ni?” Leman Lengkung tak puas hati.
“Bukan aku tak setuju, Man. Siape lagi nak memperjuangkan kampung kite ni, kalau tak mike yang mude-mude ini. Tapi aku mengingatkan, berjuanglah dengan hati yang bersih membela orang kampung, jangan dah diberi sesuatu, entah itu duit, kedudukan, perjuangan mike macam tapai campak ke lantai; lenyik. Contoh dah banyak, belum dapat kedudukan ataupun materi, perjuangan macam api. Tapi dah dapat, eeeee.... malas aku nak komen,” ujar Atah Roy meninggalkan Leman Lengkung sendiri. Leman Lengkung, menelan iar liurnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar