Nama Tun Fatimah mendadak heboh
di tengah dominasi laki-laki yang menganggap mereka sebagai superior dalam
segala keputusan menjalankan pemerintahan. Peristiwa ini terjadi pada masa kerajaan
Melaka yang diperintah oleh Sultan Mahmud pada abad ke 16. Disebabkan lelaki
menganggap memiliki kekuasaan penuh maka Sultan Mahmud membunuh seluruh
keluarga Tun Fatimah, termasuk suami Tun Fatimah. Cerita ini bermula ketika
ayahanda Tun Fatimah datang menyembah bersama Tun Fatimah ke hadapan Sultan
Mahmud. Ayahanda Tun Fatimah, yang juga pembesar kerajaan, mengabarkan bahwa
putrinya Tun Fatimah sudah menikah. Di hadapan sultan itulah tiba-tiba angin
berhembus dan bertiup ke selendang yang digunakan Tun Fatimah. Selendang
tersingkap dan wajah Tun Fatimah mendarahkan hati Sultan Mahmud. Sultan Mahmud
pun menaruh pekenan sangat akan Tun Fatimah. Siang malam wajah Tun Fatimah
bermain di ingatan Sultan Mahmud. Tak tahan memendam asmara untuk memiliki, Sultan
Mahmud pun mengeluarkan perintah memusnahkan seluruh keluarga Tun Fatimah,
kecuali Tun Fatimah yang kelak diperistri Sultan Mahmud. Tak ada daya bagi Tun
Fatimah, dia dengan terpaksa menjadi permaisuri Sultan Mahmud. Namun Tun
Fatimah bukanlah sembarangan perempuan, dia mengetahui lubuk luka seorang raja,
dia pun menggugurkan kandungan setiap kali benih Sultan Mahmud bersemai di
kandungannya. Maka Sultan Mahmud tidak memperoleh keturunan dari seorang
permaisuri untuk melanjutkan kekuasaan sebagai sultan.
Ketegaran Tun Fatimah tak pernah berakhir; disaat Melaka diserang Protugis,
Tun Fatimah mengangkat senjata. Bagi Tun Fatimah cinta pada tanah air melebihi
duka yang telah diciptakan oleh Sultan Mahmud. “Aku berperang bukan karena
sultan, tapi aku berperang karena aku cinta tanah tumpah darahku,” Tun Fatimah
memang tegar. Berikut petikan wawancara khayal yang dilakukan oleh Atah Roy
dengan Tun Fatimah, sang perempuan perkasa dari Tanah Melayu.
Atah Roy :
Mengape Anda rela mengangkat senjate melawan Protugis, padahal Sultan Mahmud
telah membunuh seluruh keluarge Anda?
Tun Fatimah : Anda telah menulis di atas, untuk ape
hambe menjawab lagi.
Atah Roy : Ini penting sebab pembace ingin
mengetahui hal yang sebenarnya keluar dari mulut Anda.
Tun Fatimah : Hahaha... Anda ini lucu. Di atas Anda
telah mengutip langsung kalimat hambe, untuk apelagi hambe jelaskan.
Atah Roy : Baik, karene Anda tidak mau
mengatekan, make saye simpulkan Anda berjuang karene panggilan negeri.
Tun Fatimah : Tepatnye, panggilan hati nurani.
Atah Roy : Tak mungkin. Anda pasti tidak dapat
melupekan kebejatan Sultan Mahmud telah membunuh seluruh orang yang Anda
cintai.
Tun Fatimah : Anda jangan memandang hambe sebagai
seorang perempuan lemah yang terbawa oleh sampan luke dalam mengarungi kehidupan
ini. Tiade yang paling pedih bagi seorang lelaki, tatkala perempuan yang ia
cintai menghempaskan benih yang kelak dapat melanjutkan kekuasaannye. Hambe
berjuang bukan untuk sultan, tapi untuk Tanah Melayu.
Atah Roy : Tapi ape yang telah diberikan Tanah
Melayu melalui kekuasaan Sultan Mahmud untuk Anda? Cume derite, kan?
Tun Fatimah : Anda ni pernah sekolah tidak?
Atah Roy : Hai, kenape pulak bertanye macam tu?
Tun Fatimah : Hambe yang tak sekolah ini saje tahu;
bahwa tiade yang paling berharge di atas bumi ini, selain dapat membuktikan
diri kite berbakti kepade tanah kelahiran.
Atah Roy : Nasionalisme yang berkelebihan. Mane
ade orang berjuang tanpe ade udang di balik batu?
Tun Fatimah : Orang macam Andalah yang menghancurkan
negeri ini. Hambe tak mengerti, mengape ade orang seperti Anda hidup di dunia
ini. Seharusnye Anda dihukum pancung, agar pemikiran Anda tidak menular kepade
generasi setelah Anda.
Atah Roy : Saye bercakap beralaskan fakta. Anda
saje yang tidak pernah membaca surat kabar.
Tun Fatimah : Surat kabar? Surat kabar itu ape?
Atah Roy : Oooo... maaf. Saye terbawak emosi
tadi. Anda kan hidup jauh sebelum saye. Saye hidup abad 21 sedangkan Anda hidup
abad 16. wajar sajelah Anda tak paham.
Tun Fatimah : Hambe bertambah tak mengerti ape yang
Anda cakap kan ni?
Atah Roy : Tak apelah. Memang percakapan kite ini
membuat kite tak paham. Lebih baik kite kembali kepade permasalahan semule.
Boleh agaknye?
Tun Fatimah : Ok, no problem.
Atah Roy : Mak, bahase orang kulit putih ye?
Tun Fatimah : Cis, jangan Anda ucapkan orang kulit
putih di depan hambe, berbulu telinge hambe mendengarkannye.
Atah Roy : Baik... saye paham. Sekarang saye nak
bertenye kembali. Bagaimane Anda, sebagai perempuan, bisa membagi antare cinte
tanah air dan cinte keluarge.
Tun Fatimah : Ini baru pertanyaan yang mantap. Bagi
saye, perempuan dan lelaki same saje memaknai cinte, baik cinte kepade
keluarge, maupun cinte terhadap tanah air. Tanah air adalah keluarge, keluarge
adalah tanah air.
Atah Roy : Tapi bagaimane kalau pemilik tanah air
memusnahkan keluarge kite?
Tun Fatimah : Pukulan paling berat yang harus hambe
pikul, tapi hambe harus memilih, Tanah Melayu harus bebas dari penjajah. Memang
terdengar terlalu heroik, bagi hambe kematian Tanah Melayu lebih pedih
dibandingkan dengan kematian saudare hambe.
Atah Roy : Menurut kabar yang disampaikan oleh
angin, katenye ketike berperang melawan Protugis, Anda mengangkat senjata di
samping Sultan Mahmud? Bagaimane perasaan Anda saat itu?
Tun Fatimah : Lawan penjajah!
Atah Roy : Bagi Anda Sultan Mahmud bukan
penjajah?
Tun Fatimah : Pertanyaan yang menyebak, ini yang hambe
suke. Setiap keinginan yang mau menguasai orang lain adalah penjajahan. Hambe
telah melumpuhkan Sultan Mahmud dengan tidak memberi keterunan kepadenye.
Atah Roy : Perbuatan itu tidak sepadan dengan
perbuatan sultan terhadap Anda?
Tun Fatimah : Menurut siape?
Atah Roy : Menurut saye.
Tun Fatimah : Membunuh harapan seseorang tentang masa
akan datang lebih menyakitkan.
Atah Roy : Sultan telah membunuh harapan Anda
tentang masa depan dengan membunuh saudara dan suami Anda?
Tun Fatimah : Betul. Hambe tak dapat mengelak
kenyataan ini. Kematian orang-orang yang hambe cintai, mengubur harapan hambe.
Sebagai balasan terhadap sultan, hambe membuat sultan menunggu harapan yang
hambe kubur bersame kamtian saudare hambe.
Atah Roy : Saye tak paham maksud Anda?
Tun Fatimah : Inilah kelemahan para kaum lelaki,
mereka selalu minta sesuatu yang jelas, padahal sesuatu yang jelas itu membuat
orang menjadi bodoh.
Atah Roy : Jadi Anda menganggap saye bodoh?
Tun Fatimah : Ye, kenape! Anda marah!
Melihat Tun Fatimah melototkan
matenye, Atah Roy ketakutan. Dengan serba salah tingkah, Atah Roy minta diri
dan lari terbirit-birit. Dalam benak Atah Roy terbayang Tun Fatimah sedang
menghunus pedangnya menentang Protugis dan Sultan Mahmud. Sementara Tun Fatimah
senyum menyaksikan Atah Roy lari tungang lagang.
Tun Fatimah : Padahal aku bukan Tun Fatimah, name aku
Puan Jaimah. Hahaha... kasihan wartawan tu, tertipu die.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar